Kamis, 10 September 2015

Analisa Puisi Chairil Anwar , Derai Derai Cemara Bentuk Rapuh Sang Pujangga


Awalnya saya berpikir bahwa puisi aku  yang terbaik dari chairil anwar, dari segi rima dan juga pemilihan kata-kata dan juga makna. Namun saya salah, semua berawal dari 3 juli 2015 ketika saya membeli buku yang berisi kumpulan lengkap puisi chairil Anwar yang berjudul Aku ini Binatang jalang. Puisi-puisi ini saya baca dikala senggang, waktu bangun pagi hari, disaat menunggu dosen dikampus dan bahkan sebelum memejamkan mata dimalam hari.   Buku ini terbagi menjadi 2 bagian, yang pertama adalah Deru Campur Debu, yang kedua adalah Kerikil Tajam dan Yang terampas dan Yang putus.  Dibagian kedua inilah saya menemukan sebuah puisi berjudul derai-derai cemara, yang menunjukan Chairil seperti kehilangan hidupnya, hancur remuk akibat sesuatu yang dia inginkan tapi tak bisa dimiliki, atau sesuatu yang terlepas dari genggamannya. Dan dalam tulisan ini saya mencoba menganalisa puisi tersebut sesuai dengan penafsiran saya sendiri. Inilah puisi rapuh sang pujangga.
Puisi Derai Derai cemara ini terdiri dari 3 bait, yang tiap bait terdiri atas 4 larik. Rimanya pun teratur, sepenuhnya mengunakan a-b-a-b. Puisi ini menurut saya sepenuhnya menggambarkan kepedihan hati yang tak terkira, saya masih tak habis pikir, seorang yang punya prinsip seperti Chairil ini pernah jatuh ke titik terdalam sehingga bahkan mengatakan “hidup hanya menunda kekalahan”. Jika anda seorang melankolis yang mudah tersentuh, sebaiknya jangan menyendiri membaca tulisan ini, karena saya yakin anda pasti akan terkenang mengenang masa-masa anda penah jatuh bangun dan putus asa. Hahahahaha,,, semoga anda yang membaca ini tidak hanyut dalam lamunan. Okey daripada kita bernostalgia nostalgila, langsung saja kita analisa bait demi bait.
Bait pertama berbunyi :     

Cemara menderai sampai jauh 
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Kata Derai-derai yang digunakan Chairil untuk judul puisi mempunyai arti berjatuhan atau berguguran yang biasanya digunakan untuk menyebut dedaunan yang sebelumnya masih berada pada sebuah pohon. Cemara menderai sampai jauh, cemara merupakan sebuah jenis pohon yang berbatang tinggi lurus seperti tiang yang daunnya kecil-kecil seperti lidi. Menderai dapat digunakan sebagai sebuah gambaran guguran atau dedaunan yang berjatuhan. Ini yang saya suka dari puisi, penulisnya biasa menyamar menjadi sebuah pohon, sungai, lautan burung atau apapun, dan jika kita jeli maka kita akan mengetahui bahwa pohon cemara itu adalah jiwa Chairil sendiri yang kehilangan keinginan ataupun cita cintanya mulai gugur terpisah dan tidak dapat ia perjuangkan.
Selanjutnya larik kedua,  Terasa hari akan jadi malam”.  Kau tau waktu dimana seseorang yang putus asa makin hanyut dalam kesedihannya ?  Jawabannya adalah malam hari, dimana sunyi bisu mulai mendatangi jiwa pilu. Malam adalah waktu dimana kau menghentikan segala aktifitasmu dan kembali ke pulang ke rumah masuk ke kamar tempat kau merenungi hidup. Dan Chairil melukiskannya dengan lebih perih. Hari belum malam tapi terasa akan jadi malam, kau bisa bayangkan kalimat ini ? Seolah olah kau berdiri tegak dibawah terik matahari, memandang keatas dan berteriak, hei kau matahari mengapa tak bisa menerangi pikiran ini, mengapa dibawah sinarmu kegelapan bisa terlihat jelas, mengapa saat kau bersinar dengan gagah ,terasa hari akan jadi malam ?  Kutipan “terasa hari akan jadi malam ini menurut saya jelas menunjukan niat Chairil melepas semua yang diperjuangkannya dan memutuskan untuk pulang, mengganggap hari telah malam, padahal belum malam dan berhenti memperjuangkan semua yang dinginkan karena hari sudah malam. Larik kedua ini menunjukan jiwa Chairil yang mulai gundah, kelam dan merasa sendiri. Sekali lagi kau bisa renungkan dan tafsirkan kalimat ini , “terasa hari akan jadi malam
Larik ketiga dan keempat :       

Ada beberapa dahan di tingkap merapuh 
Dipukul angin yang terpendam
Sangat jelas,lirik ketiga dan keempat ini melukiskan Chairil yang rapuh .Larik “Ada beberapa dahan di tingkap merapuh”. Seolah mengatakan pendiriannya mulai goyah atau pikiran dan hatinya yang tak lagi sejalan. Jika Chairil adalah cemara, maka dahan tersebut adalah hati dan pikarannya yang kini mulai rapuh, dan semua itu mulai menggerogotinya, menyebabkan jiwanya rapuh dan tidak kuat lagi. Penyebabnya ? ada di larik keempat, 
Dipukul angin yang terpendam”.  Perhatikan, bukan dibelai tapi DIPUKUL, ini adalah kalimat yang paling keras dan mungkin paling sakit dalam puisi ini. Dipukul angin yang terpendam, apakah angin yang terpendam itu ? mengapa kau pendam ? ini seperti Charil ingin menyuarakan atau bahkan mengatakan sesuatu pada seseorang tapi tak pernah bisa dikatakan, seperti tertahan ditenggorokannya. Chairil hanya bisa memendam perasaaannya dan itu sakit, menyebabkan pertentangan batin yang memukul remuk dahan yang merapuh ini dari dalam. Dan sampai sekarang tak ada yang tau apa yang dipendam Chairil. Renungkan kembali larik ini, “dipukul angin yang terpendam”
Tulisan mulai panjang, dan mungkin kalian akan mulai bosan membacanya maka akan saya persingkat
 Bait ke dua :    
 Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Bait kedua menggambarkan kedewasaan Chairil, tanggapan dan cara dia menilai diri sendiri,yang digambarkan dari kalimat sudah berapa waktu aku bukan kanak lagi. Penggambaran tentang pandangan yang terjadi saat dia masih kanak dan pandangan itu tidak relevan lagi ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa kanak-kanaknya. Sekarang Chairil sudah didewasakan pengalaman pahit, rapuh yang dia rasa , perasaan yang dia pendam memaksa dia dewasa dan sudah bisa tahan jika sesuatu yang dia mau tak bisa dia miliki. LarikTapi dulu memang ada suatu bahan” adalah pernyataan Chairil bahwa dia punya pengalaman yang menjadi bahan mendewasakannya.

Bait ketiga :     

Hidup hanya menunda kekalahan 
Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Bait ketiga ini adalah kesimpulan yang ditarik Chairil, ini seperti kau telah berjalan jauh, melewati semuanya dan kau berhenti sejenak, menoleh kebelakang dan menarik kesimpulan dari perjalanan jauhmu. Demikian juga Chairil, setelah jauh melewati dan menikmati hidupnya sendiri, dia menarik kesimpulan dari pengalaman hidupnya bahwa semua yang kita ingin terkadang tak bisa didapat. Bahkan dalam perjalanan hidup Chairil ini, dia pernah jatuh ke titik terendah sampai merasa bahwa hidup tak ada gunanya lagi, perhatikan  larik “ Hidup hanya menunda kekalahan”.
Dan larik larik seterusnya bernuansa kelam, tak makna lain disini selain putus asa, Chairil terasing dari cinta yang ia perjuangan. Ia ingin berbagi hidup, berbagi kegetiran tetapi pada siapa ? Ia mungkin ingin mengatakan cinta,ia tak berani dan Cuma pendam semua itu dalam jiwanya. Semuanya dia simpan sendiri tak mau diucapakan atau memang tak bisa diucapkan. Perhatikan larik  dan tau bahwa ada yang tetap tidak diucapakan” Hanya Chairil sendiri yang tau mengapa semua itu tetap tak bisa diucapkan. Dan larik terakhir “ Sebelum pada akhirnya kita menyerah” adalah symbol bahwa Chairil merasa sudah lelah, raganya tidak kuat lagi dan memutuskan untuk berhenti memperjuangkan apa yang dia mau.  Ada kata sebelum didepan kalimat pada akhirnya kita menyerah, menandakan bahwa dia sudah berjuang sekuat tenaga, tapi tetap saja tak bisa dan pada akhirnya dia merasa sudah waktunya untuk menyerah.
Dapat disimpulkan, puisi Derai-derai Cemara merupakan ungkapan tentang perjalanan seorang tokoh puisi yang hidupnya penuh penderitaan, dia sempat mempunyai cita-cita yang cemerlang namun pada kenyataannya hidupnya mengalami kepahitan dan penderitaan, sehingga membawa pada sebuah keterasingan dan menyadarkan tak semua yang kita ingin bisa dimiliki, tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti akan berakhir dan segala sesuatu yang bernyawa pasti akan mati.
            Membicarakan Chairil Anwar memang tidak akan pernah habis. Derai-derai cemara ditulis pada waktu dia berumul 26 tahun, setahun sebelum dia meninggal. Dia merupakan binatang jalang dunia puisi Indonesia, Chairil Anwar sungguh memiliki ciri-ciri seniman sejati. Tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok selalu kekurangan uang, penyakitan dan tingkah laku menjengkelkan. ( Dhamono 1985 ). Tapi dari ujung penanya lahir larik-larik puisi yang semacam menjadi larik sakral dan kini banyak dikutip masyarakat luas, seperti Aku mau hidup seribu tahun lagi ( Aku, maret 1943 ), Sekali berarti sudah mati ,  Hidup hanya menunda kekalahan ( Derai-derai cemara 1949 ), Dalam termangu aku masih menyebut namaMu ( Doa, kepada pemeluk teguh 1943 ), atau nasib adalah kesunyian masing-masing ( Pemberian Tahu 1946 ) . Semua larik diatas kini menjadi semacam puisi wajib dibangku pendidikan kita, Berbahagia yang duduk dibangku SMP-SMA antara ditahun 2000 – 2010, karena itu adalah masa masa dimana puisi Chairil jadi bacaan pasti dalam buku pelajaran bahasa indonesia.
            Tulisan ini adalah analisa pribadi dari saya, tak ada maksud lain, hanya coba memaknai Chairil lewat puisi puisinya, yang pada akhirnya kita tau bahwa hidup chairil tak selalu indah, ada jatuh bangun yang ia lewati. Tulisan ini juga special dibuat untuk beberapa teman PMS yang minta puisi ini dianalisa, dan juga buat teman-teman HIPMA HALTIM Manado yang akhir-akhir ini tertarik memasuki dunia sastra, semoga tulisan ini dapat menjadi rangsangan bagi teman-teman untuk berani menulis, lepaskan semua yang ada dikepala menjadi satu tulisan, kelak dapat bermanfaat bagi yang lain. So lalah kita, da ba analisa deng ba ketik, nanti sambung laing kali jo neh.”  Hahahahaha.
TERIMAH KASIH.


Sumber Ref :
Aku Ini binatang Jalang, Chairil Anwar, Gramedia Jakarta, Januari 2015
https://loveinglass.wordpress.com/2013/11/14/analisis-sajak-derai-derai-cemara-karya-chairil-anwar-pendekatan-semiotika-riffaterre/