Awalnya
saya berpikir bahwa puisi aku yang
terbaik dari chairil anwar, dari segi rima dan juga pemilihan kata-kata dan
juga makna. Namun saya salah, semua berawal dari 3 juli 2015 ketika saya
membeli buku yang berisi kumpulan lengkap puisi chairil Anwar yang berjudul Aku
ini Binatang jalang. Puisi-puisi ini saya baca dikala senggang, waktu bangun
pagi hari, disaat menunggu dosen dikampus dan bahkan sebelum memejamkan mata
dimalam hari. Buku ini terbagi menjadi 2 bagian, yang
pertama adalah Deru Campur Debu, yang kedua adalah Kerikil Tajam dan Yang
terampas dan Yang putus. Dibagian kedua
inilah saya menemukan sebuah puisi berjudul derai-derai cemara, yang menunjukan
Chairil seperti kehilangan hidupnya, hancur remuk akibat sesuatu yang dia inginkan
tapi tak bisa dimiliki, atau sesuatu yang terlepas dari genggamannya. Dan dalam
tulisan ini saya mencoba menganalisa puisi tersebut sesuai dengan penafsiran
saya sendiri. Inilah puisi rapuh sang pujangga.
Puisi
Derai Derai cemara ini terdiri dari 3 bait, yang tiap bait terdiri atas 4
larik. Rimanya pun teratur, sepenuhnya mengunakan a-b-a-b. Puisi ini menurut
saya sepenuhnya menggambarkan kepedihan hati yang tak terkira, saya masih tak
habis pikir, seorang yang punya prinsip seperti Chairil ini pernah jatuh ke
titik terdalam sehingga bahkan mengatakan “hidup hanya menunda kekalahan”. Jika
anda seorang melankolis yang mudah tersentuh, sebaiknya jangan menyendiri
membaca tulisan ini, karena saya yakin anda pasti akan terkenang mengenang
masa-masa anda penah jatuh bangun dan putus asa. Hahahahaha,,, semoga anda yang
membaca ini tidak hanyut dalam lamunan. Okey daripada kita bernostalgia
nostalgila, langsung saja kita analisa bait demi bait.
Bait pertama berbunyi :
Cemara
menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada
beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Kata
Derai-derai yang digunakan Chairil untuk judul puisi mempunyai arti berjatuhan
atau berguguran yang biasanya digunakan untuk menyebut dedaunan yang sebelumnya
masih berada pada sebuah pohon. Cemara menderai sampai
jauh, cemara merupakan sebuah jenis pohon yang berbatang tinggi lurus seperti
tiang yang daunnya kecil-kecil seperti lidi. Menderai dapat digunakan sebagai
sebuah gambaran guguran atau dedaunan yang berjatuhan. Ini yang saya suka dari
puisi, penulisnya biasa menyamar menjadi sebuah pohon, sungai, lautan burung
atau apapun, dan jika kita jeli maka kita akan mengetahui bahwa pohon cemara
itu adalah jiwa Chairil sendiri yang kehilangan keinginan ataupun cita cintanya
mulai gugur terpisah dan tidak dapat ia perjuangkan.
Selanjutnya
larik kedua, “Terasa hari akan jadi malam”. Kau
tau waktu dimana seseorang yang putus asa makin hanyut dalam kesedihannya
? Jawabannya adalah malam hari, dimana
sunyi bisu mulai mendatangi jiwa pilu. Malam adalah waktu dimana kau
menghentikan segala aktifitasmu dan kembali ke pulang ke rumah masuk ke kamar
tempat kau merenungi hidup. Dan Chairil melukiskannya dengan lebih perih. Hari
belum malam tapi terasa akan jadi malam, kau bisa bayangkan kalimat ini ?
Seolah olah kau berdiri tegak dibawah terik matahari, memandang keatas dan
berteriak, hei kau matahari mengapa tak bisa menerangi pikiran ini, mengapa
dibawah sinarmu kegelapan bisa terlihat jelas, mengapa saat kau bersinar dengan
gagah ,terasa hari akan jadi malam ?
Kutipan “terasa hari akan jadi malam ini menurut saya jelas menunjukan
niat Chairil melepas semua yang diperjuangkannya dan memutuskan untuk pulang,
mengganggap hari telah malam, padahal belum malam dan berhenti memperjuangkan
semua yang dinginkan karena hari sudah malam. Larik kedua ini menunjukan jiwa
Chairil yang mulai gundah, kelam dan merasa sendiri. Sekali lagi kau bisa
renungkan dan tafsirkan kalimat ini , “terasa
hari akan jadi malam”
Larik ketiga dan keempat :
Ada
beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Sangat
jelas,lirik ketiga dan keempat ini melukiskan Chairil yang rapuh .Larik “Ada beberapa dahan di tingkap merapuh”. Seolah
mengatakan pendiriannya mulai goyah atau pikiran dan hatinya yang tak lagi
sejalan. Jika Chairil adalah cemara, maka dahan tersebut adalah hati dan
pikarannya yang kini mulai rapuh, dan semua itu mulai menggerogotinya,
menyebabkan jiwanya rapuh dan tidak kuat lagi. Penyebabnya ? ada di larik
keempat, “
“Dipukul angin yang terpendam”. Perhatikan, bukan dibelai tapi DIPUKUL, ini
adalah kalimat yang paling keras dan mungkin paling sakit dalam puisi ini.
Dipukul angin yang terpendam, apakah angin yang terpendam itu ? mengapa kau
pendam ? ini seperti Charil ingin menyuarakan atau bahkan mengatakan sesuatu
pada seseorang tapi tak pernah bisa dikatakan, seperti tertahan
ditenggorokannya. Chairil hanya bisa memendam perasaaannya dan itu sakit,
menyebabkan pertentangan batin yang memukul remuk dahan yang merapuh ini dari
dalam. Dan sampai sekarang tak ada yang tau apa yang dipendam Chairil. Renungkan
kembali larik ini, “dipukul angin yang terpendam”
Tulisan mulai panjang,
dan mungkin kalian akan mulai bosan membacanya maka akan saya persingkat
Bait ke dua
:
Aku
sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu
bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar
perhitungan kini
Bait
kedua menggambarkan kedewasaan Chairil, tanggapan dan cara dia menilai diri
sendiri,yang digambarkan dari kalimat sudah berapa waktu aku bukan kanak lagi.
Penggambaran tentang pandangan yang terjadi saat dia masih kanak dan pandangan
itu tidak relevan lagi ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa
kanak-kanaknya. Sekarang Chairil sudah didewasakan pengalaman pahit, rapuh yang
dia rasa , perasaan yang dia pendam memaksa dia dewasa dan sudah bisa tahan
jika sesuatu yang dia mau tak bisa dia miliki. Larik “Tapi
dulu memang ada suatu bahan” adalah pernyataan
Chairil bahwa dia punya pengalaman yang menjadi bahan mendewasakannya.
Bait ketiga :
Hidup
hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari
cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap
tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya
kita menyerah
Bait
ketiga ini adalah kesimpulan yang ditarik Chairil, ini seperti kau telah
berjalan jauh, melewati semuanya dan kau berhenti sejenak, menoleh kebelakang
dan menarik kesimpulan dari perjalanan jauhmu. Demikian juga Chairil, setelah
jauh melewati dan menikmati hidupnya sendiri, dia menarik kesimpulan dari
pengalaman hidupnya bahwa semua yang kita ingin terkadang tak bisa didapat.
Bahkan dalam perjalanan hidup Chairil ini, dia pernah jatuh ke titik terendah
sampai merasa bahwa hidup tak ada gunanya lagi, perhatikan larik “ Hidup
hanya menunda kekalahan”.
Dan
larik larik seterusnya bernuansa kelam, tak makna lain disini selain putus asa,
Chairil terasing dari cinta yang ia perjuangan. Ia ingin berbagi hidup, berbagi
kegetiran tetapi pada siapa ? Ia mungkin ingin mengatakan cinta,ia tak berani
dan Cuma pendam semua itu dalam jiwanya. Semuanya dia simpan sendiri tak mau
diucapakan atau memang tak bisa diucapkan. Perhatikan larik “dan
tau bahwa ada yang tetap tidak diucapakan” Hanya Chairil sendiri yang tau
mengapa semua itu tetap tak bisa diucapkan. Dan larik terakhir “ Sebelum pada akhirnya kita menyerah”
adalah symbol bahwa Chairil merasa sudah lelah, raganya tidak kuat lagi dan
memutuskan untuk berhenti memperjuangkan apa yang dia mau. Ada kata sebelum didepan kalimat pada
akhirnya kita menyerah, menandakan bahwa dia sudah berjuang sekuat tenaga, tapi
tetap saja tak bisa dan pada akhirnya dia merasa sudah waktunya untuk menyerah.
Dapat
disimpulkan, puisi Derai-derai Cemara merupakan ungkapan tentang perjalanan
seorang tokoh puisi yang hidupnya penuh penderitaan, dia sempat mempunyai
cita-cita yang cemerlang namun pada kenyataannya hidupnya mengalami kepahitan
dan penderitaan, sehingga membawa pada sebuah keterasingan dan menyadarkan tak
semua yang kita ingin bisa dimiliki, tentang segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini pasti akan berakhir dan segala sesuatu yang bernyawa pasti akan mati.
Membicarakan Chairil Anwar memang
tidak akan pernah habis. Derai-derai cemara ditulis pada waktu dia berumul 26
tahun, setahun sebelum dia meninggal. Dia merupakan binatang jalang dunia puisi
Indonesia, Chairil Anwar sungguh memiliki ciri-ciri seniman sejati. Tidak
memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok selalu kekurangan uang,
penyakitan dan tingkah laku menjengkelkan. ( Dhamono 1985 ). Tapi dari ujung
penanya lahir larik-larik puisi yang semacam menjadi larik sakral dan kini
banyak dikutip masyarakat luas, seperti Aku
mau hidup seribu tahun lagi ( Aku, maret 1943 ), Sekali berarti sudah mati , Hidup hanya menunda kekalahan ( Derai-derai cemara 1949 ), Dalam termangu aku masih menyebut namaMu ( Doa, kepada pemeluk
teguh 1943 ), atau nasib adalah kesunyian
masing-masing ( Pemberian Tahu 1946 ) . Semua larik diatas kini menjadi
semacam puisi wajib dibangku pendidikan kita, Berbahagia yang duduk dibangku
SMP-SMA antara ditahun 2000 – 2010, karena itu adalah masa masa dimana puisi
Chairil jadi bacaan pasti dalam buku pelajaran bahasa indonesia.
Tulisan ini adalah analisa pribadi
dari saya, tak ada maksud lain, hanya coba memaknai Chairil lewat puisi
puisinya, yang pada akhirnya kita tau bahwa hidup chairil tak selalu indah, ada
jatuh bangun yang ia lewati. Tulisan ini juga special dibuat untuk beberapa
teman PMS yang minta puisi ini dianalisa, dan juga buat teman-teman HIPMA
HALTIM Manado yang akhir-akhir ini tertarik memasuki dunia sastra, semoga
tulisan ini dapat menjadi rangsangan bagi teman-teman untuk berani menulis,
lepaskan semua yang ada dikepala menjadi satu tulisan, kelak dapat bermanfaat
bagi yang lain. So lalah kita, da ba
analisa deng ba ketik, nanti sambung laing kali jo neh.” Hahahahaha.
TERIMAH KASIH.
Sumber Ref :
Aku
Ini binatang Jalang, Chairil Anwar, Gramedia Jakarta, Januari 2015
https://loveinglass.wordpress.com/2013/11/14/analisis-sajak-derai-derai-cemara-karya-chairil-anwar-pendekatan-semiotika-riffaterre/