Senin, 06 Maret 2017

Untuk Seorang Perempuan Part II

Siapapun didunia ini tentu punya hal yang ingin dilaksanakan. Semacam impian yang ingin diwujudkan. Kadang sebelum tidur kau slalu memikirkan kapan impianmu bisa terlaksana. Akupun demikian, seringkali tatkala memejamkan mata, sering ku berteka teki kapan aku bisa tiba disana, ke rumahmu yang sebelumnya tak pernah terpikir oleh ku untuk berkunjung, bahkan dalam mimpi.
Aku harus merasa malu jika bercerita mengenai perjalanan ke daerahmu dengan menggunakan kapal. Mengapa? Karna kau pasti tertawa jika kuceritakan betapa tersiksanya aku seharian terombang ambing dipermainkan laut perairan sulawesi-halmahera. Diatas kapal udaranya pengap, sumpek, bercampur bunyi bising mesin kapal membuatku mual. Kau jelas akan tertawa, mendengar kenyataan bahwa seorang lelaki berbadan tambun penyuka musik keras takluk dikalahkan lautan. Sementara kau seorang perempuan yang bertumbuh kecil dengan entengnya bisa berulang kali menyebrangi lautan Sulawesi-Halmahera tanpa ada satupun keluhan. Jadi, sebaiknya tak perlu kuceritakan perjalanan ini padamu. Yang jelas keinginanku untuk sampai ke daerahmu, rumahmu bisa terwujud.

Jujur, aku tidak berani sendirian ke rumahmu. Ke daerah yang asing bagiku, tiada teman dan sanak famili. Yang kukenal hanya kau seorang. Makanya aku mengajak seorang teman, yang sering kupanggil MR. Setidaknya ada seseorang yang kuajak bertukar pikiran perihal apa yang harus kukatakan, atau bagaimana caranya memulai pembicaran dengan seseorang yang pernah ku hancurkan kepercayan yang telah dia berikan. Jujur, aku bingung akan memulai dari mana jika bertemu denganmu. Hari pertama aku kesana, ke kampung halamanmu, aku dan MR jelas tak tahu alamat rumahmu. Aku memberanikan diri bertanya pada seorang Ibu yang berpapasan dengan kami, dan dia menunjuk sebuah rumah yang berhadapan dengan gereja. Aku tak bisa menjelaskan, betapa gugupnya aku berdiri didepan rumahmu. Kutanyakan kepada tetangga depan rumahmu, mereka mengatakan kau sedang ke pusat kota. Rupanya aku datang diwaktu yang salah. Tak apalah, "masih banyak waktu", pintaku dalam hati.

Walaupun hari pertama aku tak bertemu denganmu, aku banyak memperhatikan kampung halamanmu. Sebuah desa yang jauh dari hingar bingar kota. Aku kagum, desamu cukup bersih, teratur dengan penduduknya yang ramah. Betapa damainya kampungmu. Di pinggir jalan, beberapa anak perempuan berlarian sambil tertawa riang. Disebelah gereja, beberapa remaja perempuan berbincang serius sambil sesekali menyunggingkan senyum. Aku jadi melamun sendiri, "barangkali seperti inilah masa kecilmu didesa ini, barangkali saat remaja kaupun mirip dengan beberapa remaja ini".

Dalam perjalanan pulang aku merenung. Mungkin memang tidak sepantasnya seseorang bertamu kerumah orang yang pernah dia hancurkan mimpinya. Barangkali tidak semestinya seseorang kembali menampakan wajah didepan wanita yang telah dia khianati kepercayaannya. Ku utarakan hal ini pada MR yang duduk disebelahku, dan dia berkata "kita telah datang sejauh ini, kita telah merencanakan hal ini jauh-jauh hari. Mengapa begitu tiba ditempat ini kau berubah pikiran? belum bertemu bukan berarti tidak akan bertemu. Jangan jadi cengeng, bukankah disetiap kita bertemu, baik di kampus dan warung kopi, kau pernah berikrar harus bertemu dengannya? Kita memang pejalan yang pelan, tapi kita tidak akan berjalan mundur". Aku tersentak, keberanianku muncul kembali, "Besok kita mesti kesini lagi, besok aku mesti bertemu dengannya" sahutku. Hari kedua aku kerumahmu, telah kubulatkan tekad. Apapun yang terjadi, aku mesti bertemu denganmu. Jam 5 sore aku dan MR tiba di desamu. Sialan, kali ini aku makin gugup, keringat kembali membasahi tubuh, jantung berdegup kencang, langkah kaki gemetar. Ah. . ini mesti diselesaikan sekarang. Sudah datang sejauh ini, pantang untuk mundur.

Aku mengetuk pintu, dan betapa terkejutnya aku saat melihat bahwa ternyata, kau yang membuka pintu. Kita sama-sama terperanjat. Suasana hening sejenak. Dapat kubayangkan betapa kagetnya kau saat melihat wajahku tepat didepan pintu rumahmu. Aku maklum jika kau berpikir dalam hati, "betapa beraninya si brengsek ini datang". Jujur, saat itu aku pikir kau akan menolak bertemu denganku. Ternyata kau menyambutku dengan ramah. Kau tersenyum persis saat pertama kali kita bertemu. Mempersilahkan ku untuk segera masuk. Aku merasa malu bercampur kagum padamu.
Ada perasaan menggebu gebu yang sulit dijelaskan saat kita kembali bertemu. Mataku berkaca kaca. Suasana jadi canggung, suaraku hampir tak terdengar ketika menanyakan bagaimana kabarmu. Caramu bertutur persis seperti saat kita pertama bertemu di Fakultas Hukum Unsrat dua tahun lalu. Bicara seperlunya, lantang dan penuh percaya diri. Hampir tak ada yang berubah darimu, masih persis dua tahun lalu. Bedanya jika dua tahun lalu setiap kita bertemu kau selalu memegang berbagai macam buku teori ilmu hukum, sekarang kau lebih terlihat anggun dengan seragam kerja yang menutupi tubuhmu. "Astaga, dia makin terlihat mempesona" aku menggumam dalam hati. Percakapan selama hampir 2 jam terasa sangat pendek bagiku.

Di perjalanan pulang aku kembali merenung, teringat masa dimana kita masih akrab, saling bercanda lepas. Sampai muncul hari dimana aku menghancurkan mimpi dan harapan yang telah kau beri. Jika diingat ingat, terkadang aku menyesal. Betapa bodoh dan tidak dewasanya aku saat itu. Tidak menghargai perhatian yang kau beri, menyianyiakan seorang wanita yang luar biasa. Kau anti mainstream dari kebanyakan wanita zaman sekarang yang senang ber makeup tebal, menghias bibir semerah mungkin, dan berlomba lomba mengupload foto selfie setiap hari dengan caption yang aneh. Kelasmu jauh diatas mereka. Kau seorang wanita pendiam yang memiliki imajinasi luas, seorang terpelajar yang bijak menggunakan medsos. Bagimu, kesederhanaan adalah hal yang utama. Kau selalu tampil apa adanya.

Tahun 2016 sebentar lagi berakhir, aku tidak ingin masih tersisa penyesalan dalam hati. Aku sudah berikrar sebelum meninggalkan tahun ini, aku mesti berkunjung ke rumahmu. Bertemu dan melihat wajahmu sekali lagi. Wajah yang dulu bahkan sampai sekarang masih sering terbayang, dan akhirnya keinginanku terpenuhi. Aku tidak tahu apakah masih bisa berkunjung dan menemuimu dikampung halamanmu yang damai, ataukah ini adalah yang pertama dan terakhir kali. Biarlah takdir yang menjawabnya. Bukankah hidup ini adalah petualangan? Jika kita telah mengetahu apa yang akan terjadi, maka hidup ini sudah tak punya daya tarik. Jalani saja apa yang ada didepan mata. Tak perlu takut, jangan khawatir. Setiap perjalanan selalu saja ada hikmah yang bisa dipetik, dan tetap ada pelajaran yang bisa diambil. Kuharap, kau temukan pria baik-baik yang bisa menjagamu.
Aku pulang meninggalkan desamu dengan senyum penuh kebanggaan. Iya, bangga karena menang. Menang atas rasa takut dan Menang atas diri ini yang tak pernah mau keluar dari zona nyaman. Aku banyak belajar saat mengunjungi desamu. Tere liye pernah menulis, "anak muda tak semestinya mengurung diri dikamar dan memandangi lekat gadgetnya lalu merasa telah menikmati hidup. Tak ada kebanggaan disana. Ambil ranselmu pergi dan temui orang disekitar, maka kau akan temukan makna hidup sesungguhnya". Hari ini aku bangga bisa datang ke kampung halamanmu sebagai bukti bahwa seorang laki-laki yang pernah berbuat salah, datang dan bertekad memperbaiki semua yang hancur lebur.

Pada akhirnya kita mesti berdamai dengan segala ego. Kita mesti ikhlas jika banyak mimpi yang tak terpenuhi. Teruslah bermimpi, tapi ingat bahwa tak semua mimpi mesti jadi kenyataan. Yang terpenting, berlarilah sampai kau merasa lelah, sampai para peragu jengah. Lawan dirimu yang selalu kalah. Kau sudah menang ketika mengambil satu langkah. Berlarilah sampai tubuhmu habis menjadi tanah, sampai tak kenali lagi biru dan merah. Sampai tulangmu hilang tak berjumlah, sampai masamu habis terpilah.

Tulisan ini panjang? Iya. Sebab aku telah berniat akan menulis habis habisan mengenai kisah yang satu ini, tentang kedatanganku ke kampung halamanmu. Jika sebelumnya aku selalu berharap kau membaca tulisan-tulisanku, maka kali ini sebaiknya tidak perlu. Mengapa? Karna tulisan ini tidak terlalu penting. Pun puisi-puisi yang pernah kurangkai untukmu tak ada yang benar-benar layak. Semuanya hanya rongsokan tinta penaku yang terkadang menuntut untuk untuk digoreskan bahkan aku sendiripun terkadang tak mengerti puisi yang kubuat untukmu. Telah datang dan bertemu denganmu nilainya lebih tinggi dari pada semua coretan yang pernah kuukir.

Eh.. kau masih sering mendengar lagunya Bon Jovi - Always ? Aku tahu ini adalah salah satu lagu favoritmu. Mulai sekarang jika tiba-tiba aku merindukanmu, akan kunyanyikan reef lagu ini untuk sekedar menenangkan hati. Siapa tahu kau akan menyenandungkan juga. Untukku atau siapapun, entahlah, kau yang lebih tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar